1)
Fase Pertama (Sebelum 1800)
ü Kedatangan
bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika selama 4 abad membawa
pengaruh bagi berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut.
ü Terkumpul
tulisan karya para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah
Kitab Injil dan pegawai pemerintah jajahan dalam bentuk kisah laporan dan
sebagainya.
ü Dalam
laporan tersebut terdapat berbagai pengetahuan berupa deskripsi tentang adat
istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa
Afrika, Asia, Oseania, maupun suku bangsa Indian. Bahan deskripsi ini disebut
‘Etnografi’.
ü Timbul
pandangan yang bertentangan dari kalangan terpelajar di Eropa Barat pada waktu
itu tentang bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan Indian tersebut yaitu :
a)
Bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia
sebenarnya, melainkan mereka itu manusia liar, keturunan iblis, dsb. Dengan
demikian muncul istilah ‘savage’, ‘primitives’ untuk menyebut
bangsa-bangsa tadi.
b)
Bahwa masyarakat pada bangsa-bangsa itu
adalah contoh dari masyarakat yang belum murni, belum mengenal kejahatan dan
keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat pada
waktu itu.
c)
Ada yang tertarik akan adat-istiadat
yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa
tersebut. Kumpulan tersebut ada yang dihimpun menjadi satu, agar terlihat oleh
umum, dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar eropa.
ü Museum
Etnografi pertama kali didirikan di Kopenhagen Denmark pada tahun 1841 oleh
C.J. Thomsen (Koentjoroningrat, 2009).
ü Pada
permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang
masyarakat, adat-istiadat dan ciri-ciri fisik bangsa-bangsa di luar Eropa dari
pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar sehingga timbul usaha-usaha pertama
dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan
etnografi tadi menjadi satu.
2)
Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)
ü Karangan-karangan
etnografi tersebut tersusun berdasarkan cara berfikir evolusi masyarakat, yang
dirumuskan sebagai berikut :
Masyarakat
dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka
waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui
beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi.
Bentuk
masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk masyarakat
dan kebudayaan seperti yang hidup di Eropa Barat kala itu.
Semua
bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa dianggap
sebagai contoh dari tingkat kebudayaan yang lebih rendah (primitive), yang
masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan manusia zaman
dahulu.
ü Berdasarkan
cara berfikir tersebut, maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut
berbagai tingkat evolusi itu. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar tahun
1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan di seluruh dunia
ke dalam tingkat-tingkat evolusi tertentu, maka timbullah ilmu antropologi. Kemudian
muncul pula beberapa karangan hasil penelitian tentang sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi.
ü Pada
fase perkembangan yang kedua ini ilmu antropologi merupakan ilmu yang
akademikal (tidak mempunyai suatu tujuan secara langsung bersifat praktis, dan
hanya dilakukan dalam kalangan para sarjana di universitas-universitas) dengan
tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Mempelajari
masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu
pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah
penyebaran kebudayaan manusia.
3)
Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)
ü Sebagian
negara penjajah di Eropa berhasil mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah
jajahan-jajahan di luar Eropa.
ü Untuk
keperluan jajahannya tersebut, yang mulai berhadapan langsung dengan
bangsa-bangsa di luar Eropa pada waktu itu, maka ilmu antropologi sebagai suatu
ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah –daerah di luar Eropa itu
menjadi sangat penting.
ü Maka
dikembangkan pemahaman bahwa mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa penting
karena bangsa-bangsa itu pada umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum
kompleks seperti masyarakat bangsa-bangsa Eropa (suatu pengertian tentang
masyarakat yang tidak kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang
masyarakat yang kompleks).
ü Pada
fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan
pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa
kini yang kompleks.
4)
Fase Keempat (Sesudah 1930)
ü Pada
fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik
mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai
ketajaman dari metode-metode ilmiahnya.
ü Selain
itu, terdapat dua perubahan di dunia, yakni :
a)
Timbulnya antipati terhadap kolonialisme
sesudah PD II,
b)
Cepat hilangnya bangsa primitive (dalam arti bangsa-bangsa asli
dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930
mulai hilang, dan sesudah PD II memang hampir tidak ada lagi di muka bumi.
ü Proses-proses
tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan, dan
dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian
dengan pokok dan tujuan yang baru. Warisan dari fase-fase perkembangan semula,
dipakai sebagai landasan bagi perkembagannya yang baru.
ü Perkembangan
itu terutama terjadi di universitas-universitas di AS, tetapi menjadi umum di
negara-negara lain juga setelah yahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli
antropologi dari berbagai negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet),
mengadakan simposium internasional untuk meninjau dan merumuskan pokok tujuan
dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru itu.
ü Pokok
atau sasaran penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930, memang
tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitif yang tinggal di benua-benua di luar
Eropa saja, tetapi sudah beralih kepada manusia di daerah pedesaan pada
umumnya, ditinjau dari sudut keragaman fisiknya, masyarakatnya, serta
kebudayaannya.
ü Mengenai
tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat
ini dapat dibagi menjadi dua, yakni :
Tujuan
akademisnya adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya
dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakatnya, serta
kebudayaaannya.
Tujuan
praktisnya adalah mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa
guna membangun masyarakat suku bangsa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar