Revolusi
informasi/komunikasi sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi, terutama
dalam komunikasi internasional sebagai salah satu dimensi penting dalam
komunikasi antar bangsa. Persoalan pokok dalam komunikasi internasional ialah
munculnya dominasi negara-negara maju terhadap negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia, sejalan dengan terjadinya ketimpangan arus informasi
internasional.
Menurut
Anwar Arifin (2011), arus komunikasi dan informasi dalam era globalisasi
didukung oleh 3 (tiga) hal penting, yakni : (1) paradigma kebebasan informasi;
(2) kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi; dan (3) kemajuan
dalam bidang ekonomi dan industri.
Ketiga hal
tersebut di atas, telah menimbulkan ketimpangan arus informasi internasional
atau antarnegara serta terjadinya dominasi negara-negara maju terhadap
negara-negara yang sedang membangun.
A.
Ketidakadilan
Arus Informasi Global
Perkembangan
ilmu dan teknologi yang semakin canggih pada sejumlah negara telah memberikan
kekuasaan yang besar terhadap negara-negara tersebut. Keunggulan ilmu dan
teknologi pada negara-negara tersebut diiringi oleh kemajuan dalam bidang
ekonomi, komunikasi dan informasi. Hal tersebut akhirnya menimbulkan dominasi
terhadap negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, yang masih
lemah dalam bidang ilmu, teknologi, ekonomi, komunikasi dan informasi.
Ketimpangan tersebut juga menimbulkan terjadinya arus informasi global yang
tidak seimbang dan tidak adil. Arus informasi dari negara-negara maju mengalir
deras melanda negara-negara yang sedang berkembang.
Berita dari
kantor berita negara-negara maju mendominasi surat kabar, film, radio, dan
televisi dunia. Dari sepuluh berita yang beredar di negara berkembang, terdapat
depalan berita yang boleh dikatakan tidak relevan dengan kepentingan negaranya.
Terdapat 60%-70% berita pers, radio, televisi, serta film berita yang tersebar
ke seluruh dunia yang bersumber dari kantor berita AP (Associated Press), UPI (United
Press International), Reuters,
dan AFP (Aqency France Press). Kedua
kantor berita Amerika (AP dan UPI) sudah sejak lama beroperasi pada 114 negara.
Reuters milik Inggris beroperasi
paling sedikit di 153 negara dengan menggunakan enam bahasa. Sedang AFP dari
Prancis beroperasi di 147 negara dengan empat bahasa. Keempat kantor berita
tersebut mendapat julukan sebagai “empat raksasa” yang mendominasi dunia dalam
abad ini (Arifin, 2011:258).
Ketimpangan
dan ketidakadilan arus informasi global berdampak pada terbentuknya citra dan
opini publik internasional yang timpang pula. Tak bisa disangkal bahwa citra
dan opini publik internasional akhirnya tercipta berdasarkan arus informasi
global berdasarkan kepentingan negara-negara maju. Informasi bukan saja dapat
“diputar-balik”, melainkan juga dapat “direkayasa” dan dibuat “lebih indah atau
lebih buruk dari warna aslinya”, bergantung pada kepentingan pembuat informasi.
Ketimpangan
arus informasi global merupakan salah satu akibat dari paradigma kebebasan
informasi yang mengiringi globalisasi, yang tidak lepas dari peranan Universal Declaration of Human Right
yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948. Dalam deklarari tersebut
terdapat pasal, pasal 19, yang menyatakan bahwa “kebebasan memegang keyakinan
tanpa diganggu dalam mencari, menerima, dan menyatakan informasi serta ide
melalui media dengan tidak mengenal perbatasan.”
Prinsip
kebebasan informasi yang telah menjadi kesepakatan internasional tersebut
memang baik sebagai suatu keinginan subjektif, namun terbentur oleh kenyataan
objektif, bahwa ketimpangan penguasaan ilmu dan teknologi, menimbulkan arus
informasi gloal yang tidak berimbang. Kebebasan informasi pada akhirnya hanya
menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara-negara yang sedang
berkembang, yang belum memiliki teknologi canggih (hardware) dan sumber daya manusia yang terampil (software).
Ketimpangan
arus informasi global juga dapat merusak keadaan sosio-kultural dan
sosio-politik negara yang sedang berkembang. Bahkan ketimpangan ini dapat
ditanggapi sebagai imperialism dan kolonialism di bidang informasi yang
dilakukan oleh negara-negara maju.
B.
Konflik
Kepentingan dan Ideologi
Adanya
dominasi dalam komunikasi dan informasi global atas suatu negara terhadap
negara lain dalam globalisasi informasi telah menimbulkan kesadaran tentang
adanya ketidakadilan dalam tatanan informasi global. Beberapa pimpinan negara,
terutama pemimpin Dunia Ketiga, yang mayoritas merupakan negara yang sedang
berkembang sepakat untuk melakukan reformasi mengenai tatanan indormasi global.
Upaya tersebut dilakukan dengan melakukan perombakan dalam tatanan ekonomi
internasional. Mereka sepakat menginginkan terwujudnya tatanan informasi yang
adil dan seimbang yang dikenal dengan nama Tatanan Informasi Internasional Baru
(The New International Information Order)
yang sejalan dengan perjuangan menciptakan tatanan baru dalam bidang ekonomi
yang disebut Tatanan Ekonomi Internasional Baru.
Namun, usaha
tersebut menghadapi berbagai hambatan dari negara-negara maju yang ingin
mempertahankan dominasinya. Amerika Serikat dan Jepang misalnya, memandang
bahwa Tatanan Informasi Internasional Baru hanya sebagai proses evaluasi, bukan
sebagai suatu proses perombakan yang radikal, sehingga kecenderungan yang ada
terhadap keadilan perlu diperkokoh agar sistem itu bermanfaat bagi setiap
orang. Karena itu Amerika Serikat maupun Jepang mempertahankan sistem
libertarian, kendatipun berusaha responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan
negara yang sedang berkembang.
Sistem
libertarian menghendaki terjaminnya kebebasan informasi yang berasal dari
ideologi liberal. Amerika Serikat dan Jepang, memiliki konsepsi dalam
memperlakukan informasi sebagai kebebasan yang istimewa. Artinya, kebebasan
informasi harus dihormati dan nilai-nilai yan bersaing diberi kesempatan
maksimum. Konsepsi yang dianut oleh Amerika Serikat dan Jepang tersebut
tentunya sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Hal itu tentu berbeda dengan
kepentingan negara yang sedang berkembang yang merasakan ketidakadilan dalam
tatanan informasi internasional. Adanya perbedaan prinsip dan ideologi
tersebut, dengan sendirinya memerlukan usaha dan tindakan internasional bagi
negara-negara berkembang dalam mewujudkan Tatanan Informasi Internasional Baru.
Negara-negara
yang sedang berkembang telah melakukan upaya dan perjuangan yang cukup memadai.
Atas dukungan UNESCO, telah digelar pertemuan yang bersifat internasional pada
tahun 1976 tentag kebijakan komunikasi di San Joze de Costarica, dan berhasil
mencetuskan Deklarasi San Joze. Dalam pertemuan tersebut disepakati suatu
formulasi mengenai kebijakan komunikasi nasional dan internasional yang baru,
terutama penekanan tentang perlunya dibentuk dewan komunikasi nasional dan
perlunya riset ilmiah di bidang komunikasi intenasional. Hal penting yang perlu
diketahui dari Deklarasi San Joze ialah :
1.
Komunikasi diterima sebagai salah
satu faktor yang menentukan kebangkitan nasional dan dalam waktu yang sama
dapat digunakan sebagai sarana dalam hubungan internasional.
2.
Kebijakan komunikasi nasional
harus relevan dengan kenyataan nasional dengan menjamin kebebasan menyatakan
pendapat dan menghormati hak asasi manusia (HAM).
Setelah muncunya Deklarasi San Joze tersebut,
banyak rangkaian pertemuan yang sama berkaitan dengan isu yang sama. Antara
lain di Nairobi (1976), Paris (1978, dan Kuala Lumpur (1979). Dari beberapa
pertemuan tersebut, beberapa kesepakatan tekah berhasil dicapai antara lain
sebagai berikut :
1.
Pada dasarnya kebebasan informasi
bisa lenyap atau terganggu oleh pengaturan informasi. Artinya, pemerintah dari
suatu negara dapat saja dengan sengaja atau tidak sengaja menentang kebebasan
pers, mengontrol informasi, dan media massa, melaksanakan sensor dan
menghalang-halangi wartawan asing beroperasi dengan alasan memperbaiki
keseimbangan informasi dunia.
2.
Media massa memiliki kontribusi
dalam usaha mendorong perdamaian dan pengertian internasional, serta mendukung
hak asasi manusia (HAM) dan menentang rasialisme, apartheid, dan peperangan.
3.
Komunikasi sebagai sarana
memperkuat identitas bangsa secara keseluruhan.
Komuniaksi
sebagai alat integrasi sosial mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
mendemonstrasikan hubungan sosial apabila terdapat arus bebas secara horizontal
dan secara vertikal, baik dari media kepada publik maupun dari publik kepada
media.Referensi : Anwar Arifin. 2011. Sistem Komunikasi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar